A Mald!!

A Mald!!

Minggu, 23 November 2008

Aku, Jadi Guru?

Guru itu matahari.

Ada yang bilang kalau guru melahirkan banyak matahari dan matahari melahirkan banyak guru.

Apa maksudnya, ya?

Ada juga yang bilang kalau guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Kalau itu aku tahu kenapa. Karena meski telah berjasa, guru jarang diberi penghargaan oleh pemerintah. Ada guru yang rela menempuh jarak puluhan kilometer, mengayuh sepeda hanya demi anak-anak didiknya yang ingin diberi tahu kenapa bumi itu bulat. Ada juga guru yang rela bekerja tanpa pamrih, tidak digaji hanya demi anak-anak pinggiran yang ingin diajari tulis menulis di sebuah gerbong kereta. Masih ada tidak ya guru seperti itu saat ini?

Sekarang ada yang baru. Semua guru berebut jatah sertifikasi. Dengan mengisi berlembar-lembar folio, jika lulus seorang guru bisa mendapatkan kenaikan gaji. Hal itu termasuk sebuah penghargaan kan?. Ada juga seorang guru yang menjual fotokopian soal kepada muridnya, lalu sang murid memberikan penghargaan kepada guru dalam bentuk nominal. Tapi, tidak semua guru di Indonesia seperti itu lho…

Beda lagi dengan Jepang. Mereka begitu menghargai guru. Sampai-sampai ketika terjadi tragedi bom atom di Nagasaki, Kaisar Hirohito hanya bertanya, “ Berapa jumlah guru yang masih tersisa?”. Artinya, mereka sadar akan peran seorang guru atas negara mereka. Benar benar ya Jepang itu...

Untuk aku sendiri, jujur saja aku belum bisa merefleksikan seperti apa guru itu. Karena aku mempunyai begitu banyak guru. Ibu saya juga seorang guru. Yang aku tahu, mereka begitu tulus membagi ilmu yang mereka miliki. Tak semua orang seperti itu, aku sendiri kadang masih susah membagi ilmu yang saya miliki. Yang jelas mereka berperan amat besar atas hidupku saat ini. Mereka memberiku begitu banyak cahaya. Sehingga aku tak tersesat dalam kegelapan dunia…

Sebenarnya, aku ingin menjadi seorang guru. Guru TK. Aku suka bermain dengan anak-anak. Bagiku mereka adalah peri-peri kecil yang mencoba mengerti dunia. Mereka seperti lembaran kertas putih yang menunggu diberi warna oleh orang dewasa. Aku ingin memberi warna pada mereka. Memberi tahu mereka apa itu Islam, apa itu arti hidup, arti bahagia, dan apa itu dunia. Sepertinya sulit, ya? Mereka begitu rapuh. Begitu mudah dibentuk. Jika aku salah mendidik mereka, entah bagaimana masa depan mereka nanti.

Karena itulah, aku harus jadi “orang” dulu baru berani jadi guru TK. Aku harus pintar. Harus bijaksana. Harus baik hati. Dan harus mau membagi ilmu. Bisa tidak, ya?

Aku pernah membaca sebuah buku mengenai sebuah sistem pembelajaran yang menggunakan gerbong kereta sebagai ruang kelas dan perpustakaan. Anak-anak yang belajar disana sungguhlah beruntung. Bakat dan minat mereka diangkat tanpa mengesampingkan pendidikan moral dan sopan santun. Mereka diajari apa itu arti persahabatan, rasa hormat dan menghargai orang lain, serta kebebasan jadi diri sendiri. Para murid disana juga bebas mengubah urutan pelajaran sesuai keinginan mereka. Ada yang memulai hari dengan belajar berhitung, menggambar, atau bahasa terlebih dahulu. Dari situ terlihat bakat dan minat anak sesungguhnya. Dari yang aku baca, sebagian besar anak yang pernah belajar di sekolah itu menjadi orang yang berhasil.

Aku ingin punya sekolah seperti itu. Kelihatannya seru mengajar di gerbong kereta, meski tidak harus disitu sih. Namun, aku ingin menerapkan sistem pembelajaran seperti itu. Sebuah sistem yang mengerti seperti apa itu anak-anak, mengerti apa yang mereka mau dan yang baik untuk mereka, dan pada akhirnya dapat menemukan bakat dan minat anak sesungguhnya.

Aku ingin membentuk paradigma tunas-tunas bangsa, agar kelak mereka dapat membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Amien...

Doakan aku agar bisa mewujudkan itu semua ya...

Tidak ada komentar: