A Mald!!

A Mald!!

Selasa, 25 November 2008

ibu, ini punya wini anggraeni kelas 12 exact... nitip di amal yaa buu..

Ketika Aku Menjadi Guru

Dimalam yang sunyi dan sepi aku termenung di jendela kamarku. Angin sepoi-sepoi pun menambah dinginnya malam itu. Malam itu aku menatap langit dengan hati yang terisi penuh dengan harapan dan mimpiku. Dan berkhayal sesuatu yang mungkin tidaklah penting bagi kebanyakan orang, tapi bagiku hal-hal itu sangatlah penting aku pikirkan, untuk menghadapi waktu yang selalu akan berputar tanpa kembali. Ketika aku melihat bulan dan bintang rasanya aku ingin menjadi sebagian dari diri mereka yang selalu menerangi dunia. Begitupun aku, aku ingin sekali bisa bermanfaat bagi semua orang.

Seiring dengan berjannya waktu, tak terasa malam telah berlalu. Suara adzan subuh sudah mulai terdengar. Seolah mengetuk hati ini tuk bersujud pada-Nya. Ucapan syukur teriring doa pun terukir dalam asaku tatkala sujud. Tak hentinya ucapan syukur pun tergumam dalam hati ini karena aku masih diberi kesempatan untuk bernafas dan menjalani kehidupan. Setelah sarapan pagi akupun berangkat untuk mengajar seperti biasa. Sudah lima bulan lebih aku mengajar di salah satu sekolah swasta di Kota Tasikmalaya. Kicau burung ikut menyambut indahnya pagi itu. Hangatnya sinar mentari pagi ikut menambah indahnya pagi itu. Ayunan sepeda semakin ku nikmati tanpa terasa. Menjadi seorang guru adalah suatu hal yang tak pernah terlintas dalam benakku sebelumnya. Karena menjadi seorang guru adalah suatu hal yang sangat berat. Selain memberi ilmu pengetahuan guru pun harus menjadi orang tua kedua. Memberi murid-murid pengajaran yang baik, pendidikan, dll. Selain itu guru pun harus menjadi teladan yang baik setiap waktu. Tingkah dan perilakunya selalu menjadi perhatian murid–muridnya. Pada waktu hari pertama mengajar perasaanku terasa sangat galau tak menentu. Banyak sekali hal-hal yang sangat aku cemaskan.

Apakah aku pantas menjadi seorang guru?

Apakah aku bisa menjadi seorang guru yang baik?

Perasaan-perasaan cemas terus bemunculan dan menyelimuti diriku. Seiring dengan berjalannya waktu, aku mulai bisa mengendalikan kondisiku yang semakin hari semakin tak menentu.

Syukur alhamdulillah... Rasa cemas mulai menghilang. Pada hari berikutnya, hari mengajar dimulai karena hari pertama aku hanya sekedar berkenalan dengan para siswa. Pada saat mengajar dimulai, di kelaspun sangatlah gaduh. Ada yang keasyikan ngobrol, bermain handphone, berlarian kesana kemari, dll. Hanya sebagian kecil dari mereka yang memperhatikanku. Aku sangat kesal...!!

Rasanya aku ingin marah-marah dan menyuruh mereka pulang. Aku mencoba untuk membiarkan mereka yang tidak memperhatikanku, karena kelak mereka akan menyesal. Tapi sejenak aku sadar, pemikiran itu sangatlah egois. Lalu aku berpikir kembali dan mencoba untuk bisa menyampaikan pelajaran dengan baik. Mungkin hal itu timbul karena cara mengajarku yang membosankan. Akhirnya dengan berbekal kemauan dan tekad yang sangat kuat. Lama-kelamaan mereka bisa menanggapiku dengan baik. Kelas terasa ramai dengan berbagai pertanyaan sekitar pelajaran. Bahkan diluar pelajaran aku dan murid-murid sering bertukar pikiran. Mereka pun sudah kuanggap seperti teman dalam hidupku, begitupun mereka. Sesampainya di pekarangan sekolah, aku terbangun dari lamunan panjang selama perjalanan.

Teng….Teng….Teng….. bel tanda masuk berbunyi. Dan semua anak mulai masuk ke kelas masing-masing. Sebagian dari mereka berlari dengan terburu-buru di lorong sekolah. Suara ricuh dan hentakan kaki memambah suasana panik di pagi itu. Akhirnya aku masuk ke kelas. Kemudian kegiatan belajar mengajar dimulai seperti biasa. Di tengah-tengah suasana belajar aku mengingatkan anak-anak supaya mereka belajar dengan rajin karena sebentar lagi ulangan semester satu akan di mulai dan mengingatkan pula bahwa mengulang
pelajaran itu tidak hanya ketika akan ada ulangan. Tapi tapi harus terus–menerus walaupun sedikit.

Akhirnya ulangan umum tiba. Dan pada pagi hari terlihat murid-murid yang sedang belajar di lorong sekolah. Dan sebagian dari mereka menyapaku sembari memberi salam. Aku tersenyum sembari membalas salam dari mereka. Ketika ulangan umum di mulai suasana kelas terasa hening. Bahkan senyum bahagia yang selalu tersimpan di wajah mereka, sejenak hilang terasa di telan bumi. Hanya tinggal kerutan-kerutan di atas alis yang tersirat di wajah mereka. Tapi dibalik semua itu ada pula anak yang mencontek sana-sini.

Kemudian tak terasa ulangan umum telah berlalu. Para wali kelasp sudah mulai sibuk mengurus rapor. Ketika pembagian rapor di mulai ada seorang menangis di sudut sekolah. Ternyata dia ada salah satu dari muridku. Sebut saja namanya Rita. Lalu aku menghampirinya dan bertanya mengapa dia menangis. Pada awalnya dia tidak mau menjawab. Tetapi ketika aku bertanya kembali sembari membujuknya dengan perlahan, dia menjawab dengan nada terputus-putus diiringi isak tangis tanpa henti. Dia menjelaskan bahwa dia menangis karena nilai rapornya jelek, padahal dia sudah belajar dengan sungguh-sungguh. Lalu aku berkata supaya dia berhenti menagis. Karena Allah melihat manusia bukan dari hasilnya tapi dari usaha yang yang ia lakukan. Maka, kita sebagai manusia harus selalu bersyukur sembari berusaha. Insya Allah kita akan diberikan yang terbaik. Kemudian anak itu pun mengusap air matanya sembari tersenyum.

Ini hanyalah sekelumit cerita dari seorang guru...
Guru bagaikan pelita dalam kehidupan kita.....
Maka kita sebagai seorang siswa harus menghormati dan menghargai guru...
Karna guru telah ikhlas dan sabar mendidik kita selama ini...

From Wini Anggraeni, kelas 12 Exact...
With love...

Minggu, 23 November 2008

Aku, Jadi Guru?

Guru itu matahari.

Ada yang bilang kalau guru melahirkan banyak matahari dan matahari melahirkan banyak guru.

Apa maksudnya, ya?

Ada juga yang bilang kalau guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Kalau itu aku tahu kenapa. Karena meski telah berjasa, guru jarang diberi penghargaan oleh pemerintah. Ada guru yang rela menempuh jarak puluhan kilometer, mengayuh sepeda hanya demi anak-anak didiknya yang ingin diberi tahu kenapa bumi itu bulat. Ada juga guru yang rela bekerja tanpa pamrih, tidak digaji hanya demi anak-anak pinggiran yang ingin diajari tulis menulis di sebuah gerbong kereta. Masih ada tidak ya guru seperti itu saat ini?

Sekarang ada yang baru. Semua guru berebut jatah sertifikasi. Dengan mengisi berlembar-lembar folio, jika lulus seorang guru bisa mendapatkan kenaikan gaji. Hal itu termasuk sebuah penghargaan kan?. Ada juga seorang guru yang menjual fotokopian soal kepada muridnya, lalu sang murid memberikan penghargaan kepada guru dalam bentuk nominal. Tapi, tidak semua guru di Indonesia seperti itu lho…

Beda lagi dengan Jepang. Mereka begitu menghargai guru. Sampai-sampai ketika terjadi tragedi bom atom di Nagasaki, Kaisar Hirohito hanya bertanya, “ Berapa jumlah guru yang masih tersisa?”. Artinya, mereka sadar akan peran seorang guru atas negara mereka. Benar benar ya Jepang itu...

Untuk aku sendiri, jujur saja aku belum bisa merefleksikan seperti apa guru itu. Karena aku mempunyai begitu banyak guru. Ibu saya juga seorang guru. Yang aku tahu, mereka begitu tulus membagi ilmu yang mereka miliki. Tak semua orang seperti itu, aku sendiri kadang masih susah membagi ilmu yang saya miliki. Yang jelas mereka berperan amat besar atas hidupku saat ini. Mereka memberiku begitu banyak cahaya. Sehingga aku tak tersesat dalam kegelapan dunia…

Sebenarnya, aku ingin menjadi seorang guru. Guru TK. Aku suka bermain dengan anak-anak. Bagiku mereka adalah peri-peri kecil yang mencoba mengerti dunia. Mereka seperti lembaran kertas putih yang menunggu diberi warna oleh orang dewasa. Aku ingin memberi warna pada mereka. Memberi tahu mereka apa itu Islam, apa itu arti hidup, arti bahagia, dan apa itu dunia. Sepertinya sulit, ya? Mereka begitu rapuh. Begitu mudah dibentuk. Jika aku salah mendidik mereka, entah bagaimana masa depan mereka nanti.

Karena itulah, aku harus jadi “orang” dulu baru berani jadi guru TK. Aku harus pintar. Harus bijaksana. Harus baik hati. Dan harus mau membagi ilmu. Bisa tidak, ya?

Aku pernah membaca sebuah buku mengenai sebuah sistem pembelajaran yang menggunakan gerbong kereta sebagai ruang kelas dan perpustakaan. Anak-anak yang belajar disana sungguhlah beruntung. Bakat dan minat mereka diangkat tanpa mengesampingkan pendidikan moral dan sopan santun. Mereka diajari apa itu arti persahabatan, rasa hormat dan menghargai orang lain, serta kebebasan jadi diri sendiri. Para murid disana juga bebas mengubah urutan pelajaran sesuai keinginan mereka. Ada yang memulai hari dengan belajar berhitung, menggambar, atau bahasa terlebih dahulu. Dari situ terlihat bakat dan minat anak sesungguhnya. Dari yang aku baca, sebagian besar anak yang pernah belajar di sekolah itu menjadi orang yang berhasil.

Aku ingin punya sekolah seperti itu. Kelihatannya seru mengajar di gerbong kereta, meski tidak harus disitu sih. Namun, aku ingin menerapkan sistem pembelajaran seperti itu. Sebuah sistem yang mengerti seperti apa itu anak-anak, mengerti apa yang mereka mau dan yang baik untuk mereka, dan pada akhirnya dapat menemukan bakat dan minat anak sesungguhnya.

Aku ingin membentuk paradigma tunas-tunas bangsa, agar kelak mereka dapat membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Amien...

Doakan aku agar bisa mewujudkan itu semua ya...